Saturday, 6 December 1997
Malam yang dingin aku duduk di kursi yang tidak seberapa empuk namun aku merasa nyaman dengan kursi itu terlebih karena letaknya yang berada tepat di depan perapian ruang rekreasi Ravenclaw. Panji-panji berlambang gagak berwarna biru sangat dominan di ruang ini. Ya, setidaknya itulah gambaran ruang rekreasi Ravenclaw yang menjadi saksi kegalauanku. Entah itu galau karena ujian OWL tahun lalu atau karena masalah cinta.
Sebulan yang lalu aku bertemu dengan seorang pemuda yang beberapa minggu ini tak henti-hentinya membuat wajahku memerah. Bukan, bukan karena dia memukulku. Dia pemuda yang baik, dan entah mengapa wajahku selalu merah jika dekat dengannya. Rasanya hampir sama seperti setahun yang lalu ketika salah seorang pemuda Slytherin memberiku sekotak coklat muggle di bawah pohon pinggir Hutan Terlarang tepat ketika hujan salju sedang menyapa. Namun akhirnya tak semanis seperti coklat yang ku bayangkan tentang cinta. Tak berapa lama setelah pemberian coklat itu, bersenda gurau di kelas dan entah apa lagi yang telah ku lakukan bersamanya aku melihatnya menggandeng seorang gadis Gryffindor yang ku ketahui bermarga Hopper.
Well, saat itu aku tidak sengaja bertemu dengannya ketika aku menagih hutang kripik pada Sziera—kekasih Clyde, partnerku ketika kelas PSG—yang tak lain adalah sahabat dari gadis Hopper itu. Perasaanku saat itu tak bisa di definisikan. Memang saat itu sama sekali tidak terlihat raut wajah sedih karena pemuda Goodbye itu, yang terlihat hanyalah tawa jahil karena menagih sebungkus kripik yang pada akhirnya oleh Szie di serahkan ketika pelajaran Astronomi menyelundup bersama Artemis Visconti. Namun siapa sangka jika jauh di dalam hatiku, aku terluka, aku—entahlah. Mungkin sebaiknya aku tak membahas soal ini yang mungkin akan membuat perasaanku semakin galau saja.
Halaman dengan hamparan karpet hijau adalah tempat pertemuanku dengan pemuda Harper kala itu walau mungkin sebelumnya kita pernah bertemu entah dimana namun tak saling sapa. Aku cukup bersyukur dengan ideku untuk belajar di halaman yang ternyata membuatku bertemu dengannya.
Halaman demi halaman buku yang ada di pangkuanku sudah terabaikan oleh pikiranku karena jauh sekali kini aku memikirkan tentang pemuda itu. Namun aku putuskan untuk membuang jauh-jauh pikiran tentangnya karena aku takut kejadian seperti pemuda Slytherin itu terulang kembali. Aku tak ingin patah hati lagi walau aku masih percaya apa itu yang di namakan cinta. Dan kini aku di pertemukan dengannya, dia yang selalu tersenyum janggal ketika aku menceritakan cinta? Well, sebenarnya aku tidak tahu mengapa selalu ada kata cinta yang tersirat di setiap kalimat yang ku ucapkan padanya.
Terbayang olehku ketika dia mengusap luka di lututku sewaktu itu. Wajahku kembali menimbulkan rona merah. Tanpa sadar buku yang ada di pangkuanku terjatuh sehingga mungkin membuat beberapa yang ada di ruang rekreasi itu entah Ana, Kayne, Neak, Aurum, Clyde, Sam, Reine atau pun warga Ravenclaw lain yang tak ku kenal yang sedang berada di ruang rekreasi itu sedikit terkejut. Sadar akan apa yang ku perbuat, langsung saja ku ucapkan kata maaf pada mereka yang mungkin kegiatannya sedikit terganggu karena ulah cerobohku. Aku pikir mungkin sudah cukup waktu untuk menghangatkan tubuhku di depan perapian ini dan saatnya untuk masuk ke dalam kamar dan mempersiapkan diri untuk hari esok.
Sunday, 7 December 1997
Pagi yang begitu dingin untuk pergi ke luar kastil di jalan yang penuh dengan salju, cukup tinggi pula. Aku pergi dari kamar dan menuju Aula Besar untuk sarapan namun hal itu tak jadi ku lakukan—karena aku tidak merasa lapar untuk saat ini walau kenyataannya udara yang sangat dingin seperti ini mampu membuat perut siapa saja menjadi berbunyi ketika bertemu dengan makanan. Berbeda seperti hari-hari sebelumnya, yaitu mencari dia di meja Huffelpuff, kali ini aku langsung saja melangkah menuju Aula Depan dan lanjut menuju Danau Hitam yang sudah membeku karena badai salju semalam.
Syal pemberian nenek dua tahun lalu menemaniku duduk di batu yang ujungnya tidak berlumur salju menatap ke batas pandangan di Danau Hitam itu. Entah mengapa tiba-tiba pikiranku terbayang wajah pemuda Harper sehingga muncul pertanyaan di benakku karena sudah sangat sering sekali pikiranku memunculkan wajahnya. Apakah aku jatuh cinta padanya? Tapi aku pikir itu tidak mungkin. Dia juniorku yang berbeda satu tingkat denganku. Berulang kali aku pikirkan hal itu ketika wajahnya muncul dalam pikiranku. Tapi entah mengapa perasaanku berkata lain, dan kali ini aku tak ingin mengingkarinya bahwa aku telah jatuh cinta pada sang Harper muda. Salahkah aku?—tak terasa bulir air mata membasahi pipiku yang merah karena suhu yang cukup dingin. Aku pikir bahwa aku ini memang bodoh. Mencintainya yang mungkin tak mencintaiku, terlebih dia juga juniorku. Lagi pula untuk apa aku menangis untuk hal seperti ini? Untuk apa?
Memejamkan mata sejenak dan menghirup udara dingin yang segar memasuki paru-paruku, merasakan sentuhan hangat sang angin menerpa wajahku dan tiba-tiba aku merasa ada sentuhan lain di pundakku—siapa itu? Tak mungkin jika itu adalah makhluk-makluk yang ada di dalam Hutan Terlarang. Well, mungkin benar jika keadaan Hogwarts sudah tidak aman, tapi tidakkah untuk saat ini masih terasa aman untuk berada di Danau Hitam? Aku pikir rasanya perlu untuk meraba siapa itu, namun terlebih dahulu aku menghapus bulir air mata yang tersisa di pipiku lalu berlanjut dengan—sebuah tangan dan secepat itu pula aku membalikkan kepalaku, mendapati pemuda Harper itu telah berada di belakangku. Wajahnya datar seperti biasa, namun entah mengapa aku menyukai wajah datar itu, wajah yang selalu muncul dalam benakku. Seketika rona merah kembail terpancar di wajahku, aku menundukkan kepala persis seperti ketika aku menyandungnya dulu. Namun pemuda itu mengeluarkan suaranya untukku dan menanyakan apa yang ku lakukan di tempat ini dan udara yang sedingin ini. Lidahku kelu, tak ada satu kata pun yang terucap dari bibirku. Ingin rasanya menjawab pertanyaan itu namun aku hanya bisa menjawanya dengan gosokan tangan lalu menempelkannya ke pipi—hanya untuk menghangatkan badan, bodoh. Namun ketika itu ku lihat wajahnya yang datar itu tersenyum tersembunyi lalu melakukan hal yang sama denganku namun kedua telapak tangannya tidak dia letakkan di pipinya melainkan di pipiku. Wajahku semakin memerah, degup jantungku semakin kencang. Aku tak peduli apakah dia menyadarinya atau tidak. Namun yang jelas di sini adalah, ingin sekali aku memeluknya, memeluk tubuh yang menjadi bayang-bayangku selama ini. Tak tertahankan lagi, awalnya ragu, berdiri, memegang kedua telapak tangannya yang ada di pipiku lalu tanganku beralih menuju pinggangnya, memeluknya. Hangat ku rasakan, entah sudah semerah apa wajahku kali ini. Aku nekat, lalu aku sadar bahwa mungkin dia tidak suka ini. Aku melepaskan pelukan itu, menatapnya.
"Maafkan aku yang telah lancang ini."
Berlari pergi secepat mungkin menghindari tatapan pemuda itu. Bibirku masih bergetar pasca mengucapkan kata maaf itu. Entah apa yang di katakan oleh pemuda itu namun aku tak menghiraukannya. yang ku pikirkan hanyalah aku telah lancang memeluknya begitu saja. Well, aku pikir mungkin aku bisa melakukan permintaan maaf yang lebih layak di banding tadi pada esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar