Kamis, 09 Februari 2012

A basket; Autumn 1997

Hari-hariku semakin terasa berwarna ketika aku mengenalnya. Pemuda itu sangat ramah kepadaku walau wajahnya selalu datar—hingga pada awal-awal aku mengenalnya, ku kira dia tidak suka dengan gangguan-gangguan tak sengaja yang kubuat. Entah mengapa aku selalu merasa hariku tak lengkap jika belum menyapanya walau hanya untuk sekedar melempar senyum.

Awan gelap di luar selalu datang akhir-akhir ini, namun hari ini berbeda. Langit biru menghiasi Hogwarts di siang hari yang mungkin akan lebih tepat jika di katakan menjelang sore hari karena matahari sudah tak terlalu tinggi. Aku duduk di meja Asrama Ravenclaw, di Aula Besar menunggu balasan surat yang ku kirimkan untuk Mum dan Dad yang sebelumnya mereka melarangku untuk kembali ke Hogwarts karena alasan dia yang namanya tak boleh di sebut telah kembali. Well, jadi mereka menyuruhku untuk selalu mengutus Twynie untuk mengirimkan surat untuk mereka.


Suara kepakan sayap puluhan burung atau mungkin ratusan? Entahlah aku tak pernah menghitungnya, namun ku rasa jumlahnya semakin sedikit karena kementrian katanya selalu mengecek apapun itu yang di kirim maupun di terima. Aku melihat Twynie menuju ke arahku dengan dua ekor burung hantu lain yang kurasa salah satu dari mereka merupakan burung hantu milik keluarga Pearlglow—tetangga sebelah rumah yang sangat baik itu—bersama burung hantu milik keluargaku membawa sebuah keranjang makanan yang di pandu dengan Twynie kecil. Senyum kecil terlintas di wajahku. Memberikan kepingan-kepingan keripik labu yang ada di hadapanku kepada Twynie dan dua burung hantu yang membantunya.

"Thanks Twynie, Swerla dan kau.. Er.. Maaf aku lupa namamu, tapi kau burung hantu yang baik" Tanganku mengusap pelan kepala burung hantu milik keluarga Pearlglow itu. Aku tahu pasti mereka telah menempuh pemerikasaan yang entah dimana oleh kementrian dan aku harap orang-orang kementrian itu tidak merusak apa yang mereka bawa karena jika orang-orang itu melakukan hal tersebut maka keterlaluan sekali mereka. Ku buka perlahan tutup keranjang itu dan ku lihat isinya. Well, semuanya baik-baik saja namun aku melihat isinya sedikit berantakan. Aku pikir mungkin orang-orang kementrian itu mengecek mungkin ada sesuatu yang di selundupkan. Oke, aku menghargai mereka.

Pandanganku yang semula hanya beredar di sekitar ketiga burung hantu itu kini beralih ke meja asrama dengan kuning sebagai warna dasarnya, Hufflepuff. Ya, aku mencari sosok pemuda Harper itu. Sebenarnya aku juga kurang mengerti mengapa pemuda itu menjadi sebuah keharusan bagiku untuk selalu memandang wajahnya walau hanya sebentar. Aku jatuh cinta kepadanya? Ku rasa tidak, karena aku masih tidak ingin merasakan kekecewaan yang dulu namun mungkin untuk saat ini aku butuh teman seperti dia, dia yang mau mendengarkanku apa adanya dan ku pikir mungkin ada baiknya jika aku berbagi isi di dalam keranjangan makanan ini bersamanya.

Berjalan pergi meninggalkan Aula Besar untuk menuju halaman. Entah apa yang membuat pikiranku tertuju ke halaman ketika berpikir untuk menemui pemuda Harper itu. Mungkin feelingku sudah mulai benar—yah setidaknya tidak terlalu buruk ketika OWL tahun kemarin. Benar saja aku melihatnya berbaring di bawah pohon sembari memandangi langit-langit yang cukup cerah di kala itu. Aku melihat ada seulas tawa kecil di bibirnya. Tak tahu apa yang sedang pemuda pikirkan namun aku tebak pasti pemuda itu sedang memikirkan suatu hal yang benar-benar luar biasa sehingga membuat wajahnya yang selalu datar menjadi terhiasi dengan tawa kecil.

Sapaanku yang ku iringi dengan senyum menjadi sebuah awal dari pertemuan hari ini. Ku pikir mungkin aku mengagetkannya karena ku lihat wajahnya yang terhiasi oleh tawa kecil tadi sudah menjadi datar kembali. Pemuda itu kini merubah posisinya yang semula berbaring kini telah duduk di hamparan rumput lalu menepuk karpet hijau di sebelahnya itu. Well, ku rasa dia ingin aku duduk di situ, jadi tanpa menunggu waktu yang lama, aku pun segera duduk di situ dan seperti biasa, senyum itu selalu muncul ketika aku berada di dekatnya.

Satu persatu ku keluarkan hampir semua isi yang ada di dalam keranjang itu sembari bercerita panjang lebar tentang Twynie yang datang hingga keluarga Pearlglow yang pohon mangganya selalu dijadikannya sebagai markas ketika bermain dengan teman-temannya dulu. Ku tawarkan roti yang sudah tersaji di hadapanku dan dia, namun dia hanya memberikan senyuman. Ku rasa tak adil jika hanya aku yang makan disini karena kini tanganku sudah memegang sepotong sandwich yang sudah bersiap masuk ke dalam mulutku. Well, ku paksa dia hingga akhirnya dia mengambil beberapa potong dan memakannya. Entah mengapa aku menjadi lebih senang ketika melihatnya sedang mengunyah roti itu.

"Kau tidak bosan mendengar ceritaku, kan?"

Senyumnya yang selalu membuatku merasa tenang dan nyaman untuk bercerita padanya. Aku sadar mungkin telah terlalu banyak kata dan kalimat yang telah kuucapkan padanya. Dan kini aku pikir mungkin dia akan bosan dengan semua itu. Jadi aku memutuskan untuk bertanya padanya. Tak ada jawaban yang ku dengar, namun aku melihat jawaban itu. Dia menggeleng sembari meneguk jus labu yang ada di hadapannya. Seulas senyum tipis timbul dari bibirku yang membuatku menjadi semangat kembali untuk kembali bercerita apapun kepadanya. Aku ingin mengenalnya lebih dalam. Tidak ada salahnya kan jika aku bertanya-tanya?

Tidak ada hal penting tentang diriku. Aku terdiam mendengarnya, ku kira dia akan menceritakan apapun tentang dirinya. Ternyata meleset, aku sadar dia tak seperti aku yang mungkin jika ada perampok yang mencari mangsa aku akan dengan mudahnya memberi petunjuk pada perampok itu tanpa curiga. Aku mendengar pemuda itu melanjutkan kalimatnya, dan lagi-lagi aku di buatnya membentuk segaris senyum tipis yang di selingi oleh suara tawa.

"Bukankah keluarga Harper itu istimewa? keluargamu kaya, kan?"

Ah ya, aku sadar mungkin hal itu akan menyinggung perasaannya jika memang benar dia tidak seperti kebanyakan pemuda kaya yang lain—yang biasa menonjolkan kekayaan keluarganya—namun yang ku tahu adalah, dia berbeda. Dan benar saja, ku lihat dia membuang muka, pandangannya kosong ke depan dan ku anggap ini sebagai sinyal bagiku untuk segera membuka kedok bercandaanku. Well, aku menepuk pundaknya pelan dan berbicara pada pemuda itu bahwa bukanlah status keluarga yang membuatnya istimewa, namun dirinya lah yang menjadikannya tampak istimewa. Setidaknya mungkin itulah jiwa bijak Ravenclaw yang ada pada diriku, namun aku merasakan panas di pipiku, yang kurasa mungkin muncul rona merah di sana ketika menatap mata pemuda Harper itu.

Tidak ada komentar:

Followers