Minggu, 05 Januari 2014

Kata Ortuku...

            Katanya, masa remaja adalah masa yang paling indah. Masa di mana anak manusia mempunyai apa itu yang dinamakan cinta terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia bukan seorang idola, bukan pula seorang pujangga. Mungkin ini terlalu awal bagiku untuk menyimpulkan, tapi aku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Dia yang itu, dia yang memakai kacamata dan punya alis yang tebal itu. Dia yang selalu berhasil membuat pipiku bersemu merah ketika dia berkunjung ke kelasku. Dia yang punya nama Ivan, anak kelas 9B.

 Awal tahun ajaran ketika aku bertemu dengannya sungguh membuat kesan yang menyenangkan bagiku. Bisa kenal dan memandangnya agak lama ada suatu yang selalu aku inginkan dan kedatangannya ke kelasku adalah hal yang aku tunggu. Ada satu harapan yang selalu aku tempel di dalam pikiran untuk bisa menjadi kenyataan; yaitu punya status berpacaran dengan seseorang yang disuka.
            Pernah satu hari aku duduk-duduk di bangku depan kelas. Saat itu kebetulan sekali aku sedang menunggu seorang teman saat jam istirahat. Tiba-tiba saja dia, Ivan, menghampiriku. Saat itu wajahku mungkin sudah memerah karenanya, bahkan terkesan salah tingkah saat detak jantungku berdegup kencang ketika dia mulai bertanya “Kamu kenapa?” Aku yang salah tingkah hanya tersenyum sambil bertanya alasan mengapa dia menghampiriku—dan katanya, dia sedang mencari Andi, teman baiknya yang berada di kelas yang sama denganku.
            Hari demi hari rasa itu terus saja tumbuh, menggebu-gebu, terlebih ketika melihat beberapa kejadian yang membuatku semakin merasa ingin punya pacar dan dia yang menjadi pacarku. Seperti Rima—teman sekelasku—yang baru saja pamer boneka beruang pemberian dari pacar barunya. Bahkan pernah saat itu, ketika aku terpeleset tepat di depan pintu kelas dan dia berada di dekatku. Malu. Sialnya waktu itu dia membantuku berdiri walau samar aku lihat tawa di wajahnya. Sejak saat itu, aku semakin ingin lebih dekat dengannya hingga akhirnya aku punya alasan untuk mulai berkirim pesan dengannya. Ah, masa itu…
            Masa yang benar-benar menyenangkan ketika aku semakin dekat dengannya. Tiada hari tanpa berkirim pesan dengan Ivan walau isi pesan itu hanya beberapa kalimat nggak penting—bahkan bisa dikatakan modus tingkat sedang. Tapi sayang seribu sayang ketika modus itu mulai berkembang menjadi modus tingkat agak tinggi, pesan semacam ‘have a nice dream’ atau bahkan pesan pengingat untuk mengerjakan PR pun menjadi bumerang kerika HPku tertinggal di rumah. Satu hal yang membuatku selalu resah ketika seharian berada di sekolah sementara HPku di rumah tergeletak siap untuk diintrogasi oleh siapapun. Bahkan kehadiran Ivan yang semakin sering ke kelasku dan menemui kawannya tidak dapat membuat rasa resahku hilang begitu saja. Pikiranku menerka-nerka bagaimana reaksi mama ketika mengetahui anaknya yang diam-diam mulai dekat dengan seseorang. Bagaimana ketika papa diceritakan tentang anaknya yang melanggar aturan tidak boleh pacaran sampai lulus SMA.
Aku pun buru-buru pulang, tapi tiba-tiba saja Winda, teman sebangkuku menarik tanganku dan memintaku untuk mendengarkan ceritanya sebentar tapi aku menolak karena aku takut kena marah oleh mama dan disangka masih di sekolah untuk pacaran padahal jadian saja masih belum. Kalau berharap, iya, aku memang berharap banget jadi pacarnya. Oke, akhirnya aku pulang dan benar saja, mama mengembalikan HPku sambil bertanya siapa itu Ivan. Aku hanya menjawab bahwa Ivan adalah seorang teman, tapi mama sepertinya tidak percaya.
“Mbak kan sebentar lagi mau ujian, fokus ujian dulu, ya.” Ucap mama mulai menasihatiku. “Nggak usah pacar-pacaran karena yang seperti itu nanti pasti datang kalau sudah kerja, sudah sukses. Lagi pula mama yakin kamu belum benar-benar kenal sama anak ini.” Kalimat mama seakan tepat sasaran di mana aku tidak bisa mengelak, tapi rasa itu sudah terlanjur ada. Jadi akhirnya aku tetap memelihara rasa itu hingga keesokan hari ketika aku sekolah dan baru akan melewati pintu kelas aku melihat Ivan duduk di kursiku, berbincang dengan Winda. Aku tersenyum, menyapa sekaligus bermaksud untuk meminta Ivan mempersilakanku duduk di kursiku sendiri.
“Aku balik dulu ya, Beb..”
What? Beb?
“Nanti istirahat ke sini lagi ya.”

Aku hanya bisa bengong mendengar percakapan singkat mereka hingga akhirnya Winda pun berbicara padaku, menjelaskan bahwa sebenarnya kemarin dia ingin menceritakan peristiwa jadiannya dengan Ivan. Dan ketika itu aku pun berkata dalam hati; Oke, dengarkan kata orang tua. 

***
Tantangan nulis dari @KampusFiksi tentang seorang jomblo yang ngebet pacaran, sudah punya gebetan, tapi dilarang ortunya. #narasijomblo, yaitu tulisan dengan 666 kata pas :D

Tidak ada komentar:

Followers