Katanya, masa remaja adalah masa
yang paling indah. Masa di mana anak manusia mempunyai apa itu yang dinamakan
cinta terhadap sesuatu yang menarik perhatiannya. Dia bukan seorang idola,
bukan pula seorang pujangga. Mungkin ini terlalu awal bagiku untuk menyimpulkan,
tapi aku tahu bahwa aku sedang jatuh cinta. Dia yang itu, dia yang memakai
kacamata dan punya alis yang tebal itu. Dia yang selalu berhasil membuat pipiku
bersemu merah ketika dia berkunjung ke kelasku. Dia yang punya nama Ivan, anak
kelas 9B.
Awal tahun ajaran ketika aku bertemu dengannya
sungguh membuat kesan yang menyenangkan bagiku. Bisa kenal dan memandangnya
agak lama ada suatu yang selalu aku inginkan dan kedatangannya ke kelasku
adalah hal yang aku tunggu. Ada satu harapan yang selalu aku tempel di dalam
pikiran untuk bisa menjadi kenyataan; yaitu punya status berpacaran dengan
seseorang yang disuka.
Pernah satu hari aku duduk-duduk di
bangku depan kelas. Saat itu kebetulan sekali aku sedang menunggu seorang teman
saat jam istirahat. Tiba-tiba saja dia, Ivan, menghampiriku. Saat itu wajahku
mungkin sudah memerah karenanya, bahkan terkesan salah tingkah saat detak
jantungku berdegup kencang ketika dia mulai bertanya “Kamu kenapa?” Aku yang
salah tingkah hanya tersenyum sambil bertanya alasan mengapa dia menghampiriku—dan
katanya, dia sedang mencari Andi, teman baiknya yang berada di kelas yang sama
denganku.
Hari demi hari rasa itu terus saja
tumbuh, menggebu-gebu, terlebih ketika melihat beberapa kejadian yang membuatku
semakin merasa ingin punya pacar dan dia yang menjadi pacarku. Seperti Rima—teman
sekelasku—yang baru saja pamer boneka beruang pemberian dari pacar barunya.
Bahkan pernah saat itu, ketika aku terpeleset tepat di depan pintu kelas dan
dia berada di dekatku. Malu. Sialnya waktu itu dia membantuku berdiri walau
samar aku lihat tawa di wajahnya. Sejak saat itu, aku semakin ingin lebih dekat
dengannya hingga akhirnya aku punya alasan untuk mulai berkirim pesan
dengannya. Ah, masa itu…
Masa yang benar-benar menyenangkan
ketika aku semakin dekat dengannya. Tiada hari tanpa berkirim pesan dengan Ivan
walau isi pesan itu hanya beberapa kalimat nggak
penting—bahkan bisa dikatakan modus tingkat sedang. Tapi sayang seribu sayang
ketika modus itu mulai berkembang menjadi modus tingkat agak tinggi, pesan semacam ‘have a nice dream’ atau bahkan pesan
pengingat untuk mengerjakan PR pun menjadi bumerang kerika HPku tertinggal di
rumah. Satu hal yang membuatku selalu resah ketika seharian berada di sekolah
sementara HPku di rumah tergeletak siap untuk diintrogasi oleh siapapun. Bahkan
kehadiran Ivan yang semakin sering ke kelasku dan menemui kawannya tidak dapat
membuat rasa resahku hilang begitu saja. Pikiranku menerka-nerka bagaimana reaksi
mama ketika mengetahui anaknya yang diam-diam mulai dekat dengan seseorang. Bagaimana
ketika papa diceritakan tentang anaknya yang melanggar aturan tidak boleh
pacaran sampai lulus SMA.
Aku
pun buru-buru pulang, tapi tiba-tiba saja Winda, teman sebangkuku menarik
tanganku dan memintaku untuk mendengarkan ceritanya sebentar tapi aku menolak
karena aku takut kena marah oleh mama dan disangka masih di sekolah untuk
pacaran padahal jadian saja masih belum. Kalau berharap, iya, aku memang
berharap banget jadi pacarnya. Oke,
akhirnya aku pulang dan benar saja, mama mengembalikan HPku sambil bertanya
siapa itu Ivan. Aku hanya menjawab bahwa Ivan adalah seorang teman, tapi mama
sepertinya tidak percaya.
“Mbak
kan sebentar lagi mau ujian, fokus ujian dulu, ya.” Ucap mama mulai
menasihatiku. “Nggak usah pacar-pacaran karena yang seperti itu nanti pasti
datang kalau sudah kerja, sudah sukses. Lagi pula mama yakin kamu belum
benar-benar kenal sama anak ini.” Kalimat mama seakan tepat sasaran di mana aku
tidak bisa mengelak, tapi rasa itu sudah terlanjur ada. Jadi akhirnya aku tetap
memelihara rasa itu hingga keesokan hari ketika aku sekolah dan baru akan
melewati pintu kelas aku melihat Ivan duduk di kursiku, berbincang dengan
Winda. Aku tersenyum, menyapa sekaligus bermaksud untuk meminta Ivan
mempersilakanku duduk di kursiku sendiri.
“Aku
balik dulu ya, Beb..”
What? Beb?
“Nanti
istirahat ke sini lagi ya.”
Aku
hanya bisa bengong mendengar percakapan singkat mereka hingga akhirnya Winda
pun berbicara padaku, menjelaskan bahwa sebenarnya kemarin dia ingin
menceritakan peristiwa jadiannya dengan Ivan. Dan ketika itu aku pun berkata
dalam hati; Oke, dengarkan kata orang tua.
***
Tantangan nulis dari @KampusFiksi tentang seorang jomblo yang ngebet pacaran, sudah punya gebetan, tapi dilarang ortunya. #narasijomblo, yaitu tulisan dengan 666 kata pas :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar