Anchorage, Alaska 2006
Aku bahkan hampir tak pernah
memikirkan gadis lain selain dirimu.
Pelataran balkon itu sangat licin
karena salju yang turun deras sejak tadi siang membuat semuanya menjadi beku.
Remang cahaya di sekitar balkon membuat suasana yang semula sudah dingin
menjadi makin dingin. Terlebih seseorang yang berada di sana tidak sedang dalam
keadaan baik-baik saja. Fabian Harley namanya. Seorang pemuda yang meninggalkan
rumah kelahirannya di Phoenix demi pendidikan yang sudah dirancang jauh-jauh hari
oleh orang tuanya. Dia tidak pernah mau untuk mengikuti apa yang orang tuanya
perintahkan itu tetapi dia juga tidak pernah mau untuk menetap di Phoenix apapun
alasannya. Lebih baik di sini, pikirnya. Akan ada banyak peristiwa yang akan
dia alami di sini, di kota ini. Bahkan peristiwa itu sampai-sampai mampu untuk
membuat seorang pemuda yang dingin dan enggan untuk turut ikut campur dalam
sebuah masalah besar menjadi lebih kritis dan merubah dirinya menjadi lebih
dewasa.
Telapak tangannya menyentuh sebuah
benda bulat yang tersimpan di kantong mantelnya. Dingin, berbeda dengan deru
nafasnya yang hangat, yang menyebabkan kabut tipis setiap dia menghembuskan
nafasnya. Pikirannya melayang beberapa jam yang lalu ketika dia masih berada di
perpustakaan kampus. Kala itu dia tengah berbincang dengan Cody yang bercerita
tentang jenggot Tuan Barnes yang katanya tidak pernah dicukur semenjak
instrinya meninggal hingga akhirnya sebuah pemandangan mengalihkan perhatiannya
dari cerita Cody.
“Maaf
Cody, sepertinya aku harus segera memberikan buku ini pada Geard.” Tanpa
menunggu respon pemuda brunette itu,
Fabian langsung saja meneruskan jalannya—pergi menjauh dari arah jalan si gadis
yang nampak sibuk dengan telpon genggamnya. Ekspresi wajahnya datar namun rasa
dalam dirinya tidak dapat berbohong. Berulang kali dia menoleh ke belakang,
berharap pandangannya bertemu dengan si gadis dan mereka pun bertegur sapa
untuk saat itu. Satu, dua, dan tiga kali hingga akhirnya dia menangkap sosok
lain yang tiba-tiba saja meraih lengkung pinggang gadis tersebut seakan
menariknya untuk lebih merapat pada tubuh jangkung pria itu. Ada amarah bergejolak
dalam dirinya. Tapi apa kuasanya? Dia hanya seseorang yang pernah kenal dan
beruntung bisa berdansa dengannya saat pesta penyambutan mahasiswa baru tahun
lalu.
***
Bintang Vega, bintang paling terang
pada rasi bintang Lyra. Seperti dirimu, Arnetta.
Malam
itu jauh lebih panjang dari pada siang. Dia terbangun dengan pemandangan yang
masih gelap dan memang seharusnya begitu. Dia harus segera pergi untuk menemui
Nyonya Barnabas untuk melakukan bimbingan terhadap penelitiannya. Memang benar
jika musim dingin belum masuk pada puncaknya tapi salju sudah mampu membuat
Fabian mengumpat dalam diam ketika harus berurusan dengan jalan yang licin.
Tapi setidaknya salju ini belum separah ketika Maret 2002 lalu. Saat itu dia
hanya berlibur ke tempat ini dan mendapati pemandangan salju dengan ketebalan
nyaris tujuh inci.
Mantel
tebal berwarna hijau pupus serta sarung tangan berwarna biru gelap menemaninya
menerjang hujan salju ringan ketika bus sudah menurunkannya tepat di depan
gedung kampus. Menunggu lebih baik dari pada ditunggu. Tentu saja pepatah itu
benar walau terkadang dia tidak setuju dengan hal itu sebab dia juga punya
waktu untuk dihabiskan dengan pekerjaan lain selain menunggu. Fabian duduk di
salah satu kursi panjang yang ada di koridor luas itu. Dia membuka bukunya dan
membaca sesuatu yang sangat menarik minatnya—terlebih itu bukan buku tentang
penelitian dan semacamnya. Hanya saja buku itu adalah tentang ilmu perbintangan
yang sangat dia sukai. Ruang angkasa dan segala benda langin serta menyangkut
tentang itu selalu membuat Fabian merasa senang dan ingin tahu lebih. Tak
jarang dia sering meminjam teleskop kampus untuk hanya sekedar melihat
bintang-bintang di atas gedung tinggi itu.
“Hey
kau,”
Suara
itu lembut, menyapanya. Logat khas yang dia kenal baik itu bagai setrum yang
membuat Fabian tertegun untuk sesaat dan hendak menggerakkan kepalanya untuk menatap
wajah yang menjadi candu dalam pikirannya akhir-akhir ini.
“Ya?”
Namun
sayangnya gerakan itu terhenti dan pandangannya kembali difokuskan pada buku
yang dia baca. Nada suaranya dingin, begitulah dia. Matanya bergerak seakan dia
benar-benar fokus dalam kegiatan tersebut namun sebenarnya ada banyak
pertanyaan serta penyangkalan dalam benaknya hingga tangan gadis itu menyentuh
pudaknya. Sekali lagi seperti ada setrum yang membuat Fabian tertegun dan kali
ini dia tidak bisa lagi untuk tidak memandang gadis itu.
“Boleh
aku duduk di sini?”
“Silakan
saja.”
Lorong
di mana mereka berada terasa sepi karena memang ini masih sangat pagi bahkan
hujan salju di luar sana bisa membuat surut niat belajar beberapa mahasiswa
lain. Mungkin hanya sesekali ada satu dua orang yang lewat untuk menuju ke
tempat loker yang berada sekitar sepuluh langkah dari kursi panjang tersebut.
Hening yang cukup lama menyelimuti keberadaan mereka. Ketukan jam dinding pun
terasa semakin cepat tatkala Arnetta mengeluarkan suara kecil—seperti ingin
berbicara tapi dia mengurungkan niatnya itu. Sedangkan Fabian masih saja
berusaha tidak peduli atas kehadiran gadis itu namun akhirnya dia menyerah
untuk kedua kalinya.
“Parsley
Café, pukul tiga sore kalau kau mau.”
“Tu—“ Gadis itu berdiri dan tangannya dijulurkan ingin menggapai pundak pemuda itu
sekali lagi, tetapi sayangnya langkah Fabian terlalu cepat untuk dapat ditahan
oleh Arnetta. “Tunggu..” suaranya memelan, namun sosok itu telah berubah
menjadi siluet di ujung lorong yang bercabang yang lama-kelamaan menghilang. “Huh,”
Gadis itu melenguh pelan dan kembali duduk di kursi itu, mencoba mencerna mengapa
pemuda itu menyebutkan tempat dan waktu di saat dia tidak punya pandangan
mengapa dia melakukannya. Tangannya ditumpukan pada tempat yang kosong di tempat
pemuda itu duduk tadi, tapi ternyata ada sesuatu yang mengganjal di sana. “Buku?”
Ukurannya kecil, sampulnya berwarna lembayung dengan semburan warna jingga
serta putih yang mengkilap seakan berkilau—mengajak siapapun yang melihatnya
untuk membaca isi dari dalam buku itu. Penasaran, kini jemarinya mulai membuka
halaman pertama buku itu dan mendapati sebaris tulisan yang berbunyi Fabian Lance
Harley, Phoenix 2004.
“Sudah
lama menunggu?” Gadis itu terkaget mendapati sosok jangkuk yang membayangi buku
di tangannya. Buru-buru dia tutup buku itu dan dia masukkan ke dalam mantelnya.
Sosok mungil itu kemudian berdiri dan menyambut gandengan tangan dari si pemuda
jangkung tersebut. “Ah, tidak kok. Hanya aku saja yang datang terlalu pagi.”
Ucapnya yang kemudian ditutup dengan tawa renyah sembari mengajak pemuda itu
untuk berlalu dari koridor tersebut.
***
Salju itu misterius. Kadang bisa
memberikan kebahagiaan dengan melihatnya saja, tapi terkadang juga bisa membuat
telapak tangan terluka jika terlalu sering bermain dengannya.
“Ternyata
kau di sini?”
“Mm-hm.”
“Hanya
itu? Hanya gumaman bodoh?”
“Apa
lagi?”
“Nyonya
Barnabas mencarimu dan kau santai-santai saja di sini.”
“Hh.”
Fabian berdiri, mengambil langkah
untuk segera pergi dari kantin yang cukup ramai tersebut. Sinar matahari
bersinar muram—tanda bahwa tak lama lagi mungkin akan turun salju melanjutkan
yang semalam. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa waktu sudah akan
melewati siang di musim dingin dan sejak berlalu meninggalkan koridor tadi, dia
berada di sini hingga Geard datang untuk menegur sahabatnya itu.
“Hey
hey, ada apa? Apa yang salah? Tak biasanya kau begini kecuali ada yang
mengganggumu.” Geard menggaruk kepalanya seakan sedang berpikir apa yang
membuat sahabatnya menjadi seperti itu. “Orang tuamu?” Beberapa kemungkinan
bermain di pikirannya tetapi setahu Geard hanya itu yang sangat bisa membuat
Fabian menjadi dingin layaknya bagaimana ketika mereka bertemu untuk pertama kali.
“Tidak
ada sangkut-pautnya dengan mereka.”
“Lalu?”
Tapi sayangnya yang ditanya tidak menjawab. “Okay, aku hanya ingin
memberitahumu tentang pesan Nyonya Barnabas untuk segera menemuinya sebelum
pukul dua.” Mungkin pemuda itu kesal atas sikap sahabatnya. Memilih untuk
mundur dan tidak lagi mengganggu Fabian adalah pilihan yang paling tepat
menurutnya sehingga kini Fabian berjalan seorang diri menuju taman kecil yang
ada di tengah bangunan gedung kampus; tempat favorit para mahasiswa untuk
belajar—tapi sayangnya untuk musim dingin, tempat itu selalu sepi peminat
karena selain banyak dari mereka yang memilih berlibur, siapa pula yang hendak
belajar ditemani timbunan salju yang tebal? Tentu saja tidak ada kecuali orang
yang sedang tidak menentu seperti Fabian ini.
Tangannya membuka tas yang dia bawa
dan mencari sesuatu yang seharusnya ada di dalam sana. Ya, sesuatu itu adalah
buku yang dia baca sebelum bertemu dengan Arnetta. Tentu saja dia masih ingat
betul bahwa dia tidak terpikirkan sama sekali tentang buku itu selama di
kantin. Pikirannya hanya memutar bayangan Arnetta, Arnetta, dan Arnetta. Sial, umpatnya
dalam diam. Fabian pun pergi dari tempat itu menuju koridor tempat di mana dia
bertemu dengan gadis itu tadi. Dia berlari dan ketika tiba di kursi panjang
itu, dia tidak menemukan bukunya. Hilang, pikirnya. Dia kesal dan mengutuk
siapapun yang mencuri buku tersebut sebab itu buku pertama yang dia beli
menggunakan uang dari hasil dia bekerja untuk membantu Tuan Peterson di
ladangnya ketika masih di Phoneix dulu. Namun kesal itu segera dia hilangkan
ketika sebuah suara tegas memanggil nama keluarganya.
Nyonya
Barnabas memanggilnya.
Lama
dia berada di dalam ruangan tersebut dan ketika dia melihat jam yang melingkar
di pergelangan tangannya, jarum jam dan menit menunjuk di angka yang sama,
yaitu tiga. Dia teringat atas apa yang dia katakan pada gadis tersebut dan
beruntung, tepat pada saat itu pula Nyonya Barnabas mendapat telepon dan
mengakhiri pertemuan hari itu.
Ada
harapan di hatinya yang mengatakan bahwa gadis itu akan datang. Ada pula di
sisi lain hatinya yang mengatakan bahwa gadis itu tidak akan datang dan percuma
saja dia ke sana hanya untuk menghabiskan uang—menikmati kopi yang sama saja
dengan buatan Nenek Alecia. Puluhan kali dia berdebat dengan pikirannya selama
perjalanan menuju Parsley Café dan akhirnya keyakinan itu yang menang.
Pandangannya menangkap sosok gadis itu sedang duduk di salah satu kursi dalam café
tersebut. Langit memang sudah mulai menggelap, lampu-lampu putih kecil yang
menghias bangunan pun juga sudah mulai terlihat. Pun keranjang yang penuh
dengan bunga marigold serta sapphire lobelia tak jarang juga turut
menghias bangunan bertingkat di sekitarnya menemani langkah Fabian untuk
memasuki bangunan yang khas dengan warna coklat dan hijau muda itu.
***
Kantong di mantelnya terasa berat.
Ada sesuatu di sana yang dia letakkan sesaat sebelum masuk ke dalam café tersebut.
Dirinya berdiri membelakangi Arnetta yang sedang mengaduk-aduk kopinya. Fabian
tidak bermaksud untuk mengagetkan gadis itu, dia hanya berusaha untuk
menyapanya dengan tidak tiba-tiba muncul di hadapan si gadis.
“Hai,”
kaku. Dia memang selalu kaku, tapi untuk saat ini kekakuan itu nampak berbeda.
Seperti ada sesuatu lain yang membuat kekakuan itu tidak selalu terlihat
menakutkan dan dingin. Ada raut khawatir di wajahnya yang membuat Arnetta
tertawa renyah ketika mendapati Fabian ada di belakangnya.
“Duduklah,”
ucapnya sembari mempersilakan Fabian untuk duduk. “Aku pikir kau oppaku yang sudah selesai membeli
kebutuhan olahraganya”
Gadis itu masih tampak ceria seperti
biasanya. Fabian tidak tahu apa yang harus dia lakukan padahal dia lah yang
membuat perjanjian untuk pertemuan ini. Memang ada satu tujuan yang ingin dia
lakukan di tempat ini. Satu benda yang ada di kantong mantelnya yang sempat
ingin dia lempar kemarin malam.
“Ada
apa?”
“Ya?”
“Oh
itu…” Sementara Fabian masih sibuk dengan pikirannya atas apa yang seharusnya
dia lakukan di tempat itu, Arnetta teringat sesuatu akan yang dia temukan tadi
pagi. “Aku pikir ini milikmu, maka aku membawanya karena kita akan bertemu di
sini.” Tangannya yang menggenggam buku itu terjulur ke arah Fabian untuk
mengembalikan buku tersebut dan disambut oleh Fabian dengan ucapan terima
kasih.
Lagi-lagi ada jeda lama di antara
mereka. Fabian masih tidak tahu apa yang ingin dan bisa dia lakukan di sana.
Berpikir untuk memberikan benda bulat yang sudah dia masukkan ke dalam kotak
berpita pun dia buang jauh-jauh sebab menurutnya hadiah itu terlalu kekanakan.
Bahkan ketika berpikir ulang mengapa dia membelinya, dia tidak tahu. Hanya
bayangan wajah dan senyum Arnetta Park seorang yang terlintas ketika dia
melihatnya.
“Aku—“
Mereka berucap nyaris bersamaan. Arnetta tersenyum, lalu mepersilakan Fabian
untuk berbicara duluan yang membuat pemuda itu menjadi lupa sesaat. Entah apa
yang akan dia katakan hingga akhirnya dia hanya mengatakan bahwa dia perlu
memesan kopi untuk menghangatkan diri.
Kali ini Fabian yang mempersilakan
Arnetta untuk berbicara. Gadis itu pun mulai berbicara dan ternyata dia hanya
bertanya soal kedai atau restoran makanan Korea yang enak di sekitar sini karena
dia rindu tanah kelahirannya itu. Tapi sayangnya Fabian juga pendatang di sini.
Dia buta soal kuliner yang ada di Alaska bahkan di Anchorage itu sendiri.
“Jadi
apa yang membuatmu menyuruhku datang ke tempat ini?”
Fabian menyesap kopinya dalam jeda
di antara mereka. Dia sudah memutuskan tentang nasib dari pertemuannya serta
benda yang ada pada kotak berpita di mantelnya. “Sebenarnya aku hanya ingin—“ tangannya
pun mengambil kotak tersebut dari dalam mantel dan mengeluarkannya,
meletakkannya di atas meja mereka berdua. Fabian tersenyum—satu hal yang jarang
sekali terjadi pada pemuda itu.
“Aku
ingin memberimu ini. Semoga kau menyukainya..” Tangannya pun mendorong kotak
itu ke arah Arnetta. Alunan nada instrumental yang mengalun lembut di café itu
membuat suasana seakan menjadi damai di dalam dirinya. Ada keinginan untuk
mengatakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa dia akan
mengatakan itu.
“Untukku?”
“Ya,
untukmu. Aku membelinya untuk—“
“...”
“Hei
Arnetta, kebetulan sekali kita bertemu di sini!”
Namun
tiba-tiba ada yang memotong kalimatnya. Arah pandangannya seketika dia arahkan
pada sosok jangkung yang sering dia lihat sering berada di dekat Arnetta. Siapa dia? Pacarnya? Kakaknya?
“Uhm?” Wajah gadis itu polos. Ada senyum tipis
di sudut bibirnya ketika menangkap sosok itu berada di sampingnya seorang diri.
“Wow, sedang apa kau di sini?” Mungkin Arnetta sudah mendapatkan sesuatu yang
lebih menyenangkan dibanding dengan menghabiskan waktu bersama Fabian dan
Fabian menyadari hal itu. Dia tidak bisa menjadi orang lain dengan sikapnya
yang dingin dan nampaknya kehadiran dirinya juga tidak begitu dibutuhkan di
sini. Dia harus pulang.
“Aku
pamit dulu, selamat malam.” Satu langkah telah dia ambil, “Ah ya, sebenarnya
itu milik sepupuku yang ingin membuangnya karena tidak suka rumah yang ada di
dalam benda itu.”—bohong. Sebenarnya ada rasa berat dalam dadanya ketika
mengucapkan itu. Tapi dia berusaha untuk menghilangkan rasa itu sementara wajahnya
memanas begitu pula dengan kepalan tangannya di dalam mantel yang menemani seorang
Fabian Harley menerjang hujan salju yang semakin deras itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar