Rabu, 15 Januari 2014

Snow Globe

Anchorage, Alaska 2006

Aku bahkan hampir tak pernah memikirkan gadis lain selain dirimu.

            Pelataran balkon itu sangat licin karena salju yang turun deras sejak tadi siang membuat semuanya menjadi beku. Remang cahaya di sekitar balkon membuat suasana yang semula sudah dingin menjadi makin dingin. Terlebih seseorang yang berada di sana tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja. Fabian Harley namanya. Seorang pemuda yang meninggalkan rumah kelahirannya di Phoenix demi pendidikan yang sudah dirancang jauh-jauh hari oleh orang tuanya. Dia tidak pernah mau untuk mengikuti apa yang orang tuanya perintahkan itu tetapi dia juga tidak pernah mau untuk menetap di Phoenix apapun alasannya. Lebih baik di sini, pikirnya. Akan ada banyak peristiwa yang akan dia alami di sini, di kota ini. Bahkan peristiwa itu sampai-sampai mampu untuk membuat seorang pemuda yang dingin dan enggan untuk turut ikut campur dalam sebuah masalah besar menjadi lebih kritis dan merubah dirinya menjadi lebih dewasa.

            Telapak tangannya menyentuh sebuah benda bulat yang tersimpan di kantong mantelnya. Dingin, berbeda dengan deru nafasnya yang hangat, yang menyebabkan kabut tipis setiap dia menghembuskan nafasnya. Pikirannya melayang beberapa jam yang lalu ketika dia masih berada di perpustakaan kampus. Kala itu dia tengah berbincang dengan Cody yang bercerita tentang jenggot Tuan Barnes yang katanya tidak pernah dicukur semenjak instrinya meninggal hingga akhirnya sebuah pemandangan mengalihkan perhatiannya dari cerita Cody.

“Maaf Cody, sepertinya aku harus segera memberikan buku ini pada Geard.” Tanpa menunggu respon pemuda brunette itu, Fabian langsung saja meneruskan jalannya—pergi menjauh dari arah jalan si gadis yang nampak sibuk dengan telpon genggamnya. Ekspresi wajahnya datar namun rasa dalam dirinya tidak dapat berbohong. Berulang kali dia menoleh ke belakang, berharap pandangannya bertemu dengan si gadis dan mereka pun bertegur sapa untuk saat itu. Satu, dua, dan tiga kali hingga akhirnya dia menangkap sosok lain yang tiba-tiba saja meraih lengkung pinggang gadis tersebut seakan menariknya untuk lebih merapat pada tubuh jangkung pria itu. Ada amarah bergejolak dalam dirinya. Tapi apa kuasanya? Dia hanya seseorang yang pernah kenal dan beruntung bisa berdansa dengannya saat pesta penyambutan mahasiswa baru tahun lalu.
***
Bintang Vega, bintang paling terang pada rasi bintang Lyra. Seperti dirimu, Arnetta.

Malam itu jauh lebih panjang dari pada siang. Dia terbangun dengan pemandangan yang masih gelap dan memang seharusnya begitu. Dia harus segera pergi untuk menemui Nyonya Barnabas untuk melakukan bimbingan terhadap penelitiannya. Memang benar jika musim dingin belum masuk pada puncaknya tapi salju sudah mampu membuat Fabian mengumpat dalam diam ketika harus berurusan dengan jalan yang licin. Tapi setidaknya salju ini belum separah ketika Maret 2002 lalu. Saat itu dia hanya berlibur ke tempat ini dan mendapati pemandangan salju dengan ketebalan nyaris tujuh inci.

Mantel tebal berwarna hijau pupus serta sarung tangan berwarna biru gelap menemaninya menerjang hujan salju ringan ketika bus sudah menurunkannya tepat di depan gedung kampus. Menunggu lebih baik dari pada ditunggu. Tentu saja pepatah itu benar walau terkadang dia tidak setuju dengan hal itu sebab dia juga punya waktu untuk dihabiskan dengan pekerjaan lain selain menunggu. Fabian duduk di salah satu kursi panjang yang ada di koridor luas itu. Dia membuka bukunya dan membaca sesuatu yang sangat menarik minatnya—terlebih itu bukan buku tentang penelitian dan semacamnya. Hanya saja buku itu adalah tentang ilmu perbintangan yang sangat dia sukai. Ruang angkasa dan segala benda langin serta menyangkut tentang itu selalu membuat Fabian merasa senang dan ingin tahu lebih. Tak jarang dia sering meminjam teleskop kampus untuk hanya sekedar melihat bintang-bintang di atas gedung tinggi itu.

“Hey kau,”

Suara itu lembut, menyapanya. Logat khas yang dia kenal baik itu bagai setrum yang membuat Fabian tertegun untuk sesaat dan hendak menggerakkan kepalanya untuk menatap wajah yang menjadi candu dalam pikirannya akhir-akhir ini.

“Ya?”

Namun sayangnya gerakan itu terhenti dan pandangannya kembali difokuskan pada buku yang dia baca. Nada suaranya dingin, begitulah dia. Matanya bergerak seakan dia benar-benar fokus dalam kegiatan tersebut namun sebenarnya ada banyak pertanyaan serta penyangkalan dalam benaknya hingga tangan gadis itu menyentuh pudaknya. Sekali lagi seperti ada setrum yang membuat Fabian tertegun dan kali ini dia tidak bisa lagi untuk tidak memandang gadis itu.

“Boleh aku duduk di sini?”
“Silakan saja.”

Lorong di mana mereka berada terasa sepi karena memang ini masih sangat pagi bahkan hujan salju di luar sana bisa membuat surut niat belajar beberapa mahasiswa lain. Mungkin hanya sesekali ada satu dua orang yang lewat untuk menuju ke tempat loker yang berada sekitar sepuluh langkah dari kursi panjang tersebut. Hening yang cukup lama menyelimuti keberadaan mereka. Ketukan jam dinding pun terasa semakin cepat tatkala Arnetta mengeluarkan suara kecil—seperti ingin berbicara tapi dia mengurungkan niatnya itu. Sedangkan Fabian masih saja berusaha tidak peduli atas kehadiran gadis itu namun akhirnya dia menyerah untuk kedua kalinya.

“Parsley Café, pukul tiga sore kalau kau mau.”

“Tu—“ Gadis itu berdiri dan tangannya dijulurkan ingin menggapai pundak pemuda itu sekali lagi, tetapi sayangnya langkah Fabian terlalu cepat untuk dapat ditahan oleh Arnetta. “Tunggu..” suaranya memelan, namun sosok itu telah berubah menjadi siluet di ujung lorong yang bercabang yang lama-kelamaan menghilang. “Huh,” Gadis itu melenguh pelan dan kembali duduk di kursi itu, mencoba mencerna mengapa pemuda itu menyebutkan tempat dan waktu di saat dia tidak punya pandangan mengapa dia melakukannya. Tangannya ditumpukan pada tempat yang kosong di tempat pemuda itu duduk tadi, tapi ternyata ada sesuatu yang mengganjal di sana. “Buku?” Ukurannya kecil, sampulnya berwarna lembayung dengan semburan warna jingga serta putih yang mengkilap seakan berkilau—mengajak siapapun yang melihatnya untuk membaca isi dari dalam buku itu. Penasaran, kini jemarinya mulai membuka halaman pertama buku itu dan mendapati sebaris tulisan yang berbunyi Fabian Lance Harley, Phoenix 2004. 

“Sudah lama menunggu?” Gadis itu terkaget mendapati sosok jangkuk yang membayangi buku di tangannya. Buru-buru dia tutup buku itu dan dia masukkan ke dalam mantelnya. Sosok mungil itu kemudian berdiri dan menyambut gandengan tangan dari si pemuda jangkung tersebut. “Ah, tidak kok. Hanya aku saja yang datang terlalu pagi.” Ucapnya yang kemudian ditutup dengan tawa renyah sembari mengajak pemuda itu untuk berlalu dari koridor tersebut.

***

Salju itu misterius. Kadang bisa memberikan kebahagiaan dengan melihatnya saja, tapi terkadang juga bisa membuat telapak tangan terluka jika terlalu sering bermain dengannya.

“Ternyata kau di sini?”
Mm-hm.
“Hanya itu? Hanya gumaman bodoh?”
“Apa lagi?”
“Nyonya Barnabas mencarimu dan kau santai-santai saja di sini.”
Hh.

            Fabian berdiri, mengambil langkah untuk segera pergi dari kantin yang cukup ramai tersebut. Sinar matahari bersinar muram—tanda bahwa tak lama lagi mungkin akan turun salju melanjutkan yang semalam. Selain itu, hal ini juga menunjukkan bahwa waktu sudah akan melewati siang di musim dingin dan sejak berlalu meninggalkan koridor tadi, dia berada di sini hingga Geard datang untuk menegur sahabatnya itu.

“Hey hey, ada apa? Apa yang salah? Tak biasanya kau begini kecuali ada yang mengganggumu.” Geard menggaruk kepalanya seakan sedang berpikir apa yang membuat sahabatnya menjadi seperti itu. “Orang tuamu?” Beberapa kemungkinan bermain di pikirannya tetapi setahu Geard hanya itu yang sangat bisa membuat Fabian menjadi dingin layaknya bagaimana ketika mereka bertemu untuk pertama kali.

“Tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka.”

“Lalu?” Tapi sayangnya yang ditanya tidak menjawab. “Okay, aku hanya ingin memberitahumu tentang pesan Nyonya Barnabas untuk segera menemuinya sebelum pukul dua.” Mungkin pemuda itu kesal atas sikap sahabatnya. Memilih untuk mundur dan tidak lagi mengganggu Fabian adalah pilihan yang paling tepat menurutnya sehingga kini Fabian berjalan seorang diri menuju taman kecil yang ada di tengah bangunan gedung kampus; tempat favorit para mahasiswa untuk belajar—tapi sayangnya untuk musim dingin, tempat itu selalu sepi peminat karena selain banyak dari mereka yang memilih berlibur, siapa pula yang hendak belajar ditemani timbunan salju yang tebal? Tentu saja tidak ada kecuali orang yang sedang tidak menentu seperti Fabian ini.

            Tangannya membuka tas yang dia bawa dan mencari sesuatu yang seharusnya ada di dalam sana. Ya, sesuatu itu adalah buku yang dia baca sebelum bertemu dengan Arnetta. Tentu saja dia masih ingat betul bahwa dia tidak terpikirkan sama sekali tentang buku itu selama di kantin. Pikirannya hanya memutar bayangan Arnetta, Arnetta, dan Arnetta. Sial, umpatnya dalam diam. Fabian pun pergi dari tempat itu menuju koridor tempat di mana dia bertemu dengan gadis itu tadi. Dia berlari dan ketika tiba di kursi panjang itu, dia tidak menemukan bukunya. Hilang, pikirnya. Dia kesal dan mengutuk siapapun yang mencuri buku tersebut sebab itu buku pertama yang dia beli menggunakan uang dari hasil dia bekerja untuk membantu Tuan Peterson di ladangnya ketika masih di Phoneix dulu. Namun kesal itu segera dia hilangkan ketika sebuah suara tegas memanggil nama keluarganya.

Nyonya Barnabas memanggilnya.

Lama dia berada di dalam ruangan tersebut dan ketika dia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, jarum jam dan menit menunjuk di angka yang sama, yaitu tiga. Dia teringat atas apa yang dia katakan pada gadis tersebut dan beruntung, tepat pada saat itu pula Nyonya Barnabas mendapat telepon dan mengakhiri pertemuan hari itu.

Ada harapan di hatinya yang mengatakan bahwa gadis itu akan datang. Ada pula di sisi lain hatinya yang mengatakan bahwa gadis itu tidak akan datang dan percuma saja dia ke sana hanya untuk menghabiskan uang—menikmati kopi yang sama saja dengan buatan Nenek Alecia. Puluhan kali dia berdebat dengan pikirannya selama perjalanan menuju Parsley Café dan akhirnya keyakinan itu yang menang. Pandangannya menangkap sosok gadis itu sedang duduk di salah satu kursi dalam café tersebut. Langit memang sudah mulai menggelap, lampu-lampu putih kecil yang menghias bangunan pun juga sudah mulai terlihat. Pun keranjang yang penuh dengan bunga marigold serta sapphire lobelia tak jarang juga turut menghias bangunan bertingkat di sekitarnya menemani langkah Fabian untuk memasuki bangunan yang khas dengan warna coklat dan hijau muda itu.

***

            Kantong di mantelnya terasa berat. Ada sesuatu di sana yang dia letakkan sesaat sebelum masuk ke dalam café tersebut. Dirinya berdiri membelakangi Arnetta yang sedang mengaduk-aduk kopinya. Fabian tidak bermaksud untuk mengagetkan gadis itu, dia hanya berusaha untuk menyapanya dengan tidak tiba-tiba muncul di hadapan si gadis.

“Hai,” kaku. Dia memang selalu kaku, tapi untuk saat ini kekakuan itu nampak berbeda. Seperti ada sesuatu lain yang membuat kekakuan itu tidak selalu terlihat menakutkan dan dingin. Ada raut khawatir di wajahnya yang membuat Arnetta tertawa renyah ketika mendapati Fabian ada di belakangnya.

“Duduklah,” ucapnya sembari mempersilakan Fabian untuk duduk. “Aku pikir kau oppaku yang sudah selesai membeli kebutuhan olahraganya”

            Gadis itu masih tampak ceria seperti biasanya. Fabian tidak tahu apa yang harus dia lakukan padahal dia lah yang membuat perjanjian untuk pertemuan ini. Memang ada satu tujuan yang ingin dia lakukan di tempat ini. Satu benda yang ada di kantong mantelnya yang sempat ingin dia lempar kemarin malam.

“Ada apa?”
“Ya?”

“Oh itu…” Sementara Fabian masih sibuk dengan pikirannya atas apa yang seharusnya dia lakukan di tempat itu, Arnetta teringat sesuatu akan yang dia temukan tadi pagi. “Aku pikir ini milikmu, maka aku membawanya karena kita akan bertemu di sini.” Tangannya yang menggenggam buku itu terjulur ke arah Fabian untuk mengembalikan buku tersebut dan disambut oleh Fabian dengan ucapan terima kasih.

            Lagi-lagi ada jeda lama di antara mereka. Fabian masih tidak tahu apa yang ingin dan bisa dia lakukan di sana. Berpikir untuk memberikan benda bulat yang sudah dia masukkan ke dalam kotak berpita pun dia buang jauh-jauh sebab menurutnya hadiah itu terlalu kekanakan. Bahkan ketika berpikir ulang mengapa dia membelinya, dia tidak tahu. Hanya bayangan wajah dan senyum Arnetta Park seorang yang terlintas ketika dia melihatnya.

“Aku—“ Mereka berucap nyaris bersamaan. Arnetta tersenyum, lalu mepersilakan Fabian untuk berbicara duluan yang membuat pemuda itu menjadi lupa sesaat. Entah apa yang akan dia katakan hingga akhirnya dia hanya mengatakan bahwa dia perlu memesan kopi untuk menghangatkan diri.

            Kali ini Fabian yang mempersilakan Arnetta untuk berbicara. Gadis itu pun mulai berbicara dan ternyata dia hanya bertanya soal kedai atau restoran makanan Korea yang enak di sekitar sini karena dia rindu tanah kelahirannya itu. Tapi sayangnya Fabian juga pendatang di sini. Dia buta soal kuliner yang ada di Alaska bahkan di Anchorage itu sendiri.

“Jadi apa yang membuatmu menyuruhku datang ke tempat ini?”

            Fabian menyesap kopinya dalam jeda di antara mereka. Dia sudah memutuskan tentang nasib dari pertemuannya serta benda yang ada pada kotak berpita di mantelnya. “Sebenarnya aku hanya ingin—“ tangannya pun mengambil kotak tersebut dari dalam mantel dan mengeluarkannya, meletakkannya di atas meja mereka berdua. Fabian tersenyum—satu hal yang jarang sekali terjadi pada pemuda itu.

“Aku ingin memberimu ini. Semoga kau menyukainya..” Tangannya pun mendorong kotak itu ke arah Arnetta. Alunan nada instrumental yang mengalun lembut di café itu membuat suasana seakan menjadi damai di dalam dirinya. Ada keinginan untuk mengatakan sesuatu yang tak pernah terpikirkan oleh dirinya bahwa dia akan mengatakan itu.

“Untukku?”
“Ya, untukmu. Aku membelinya untuk—“

...

“Hei Arnetta, kebetulan sekali kita bertemu di sini!”

Namun tiba-tiba ada yang memotong kalimatnya. Arah pandangannya seketika dia arahkan pada sosok jangkung yang sering dia lihat sering berada di dekat Arnetta. Siapa dia? Pacarnya? Kakaknya?

 “Uhm?” Wajah gadis itu polos. Ada senyum tipis di sudut bibirnya ketika menangkap sosok itu berada di sampingnya seorang diri. “Wow, sedang apa kau di sini?” Mungkin Arnetta sudah mendapatkan sesuatu yang lebih menyenangkan dibanding dengan menghabiskan waktu bersama Fabian dan Fabian menyadari hal itu. Dia tidak bisa menjadi orang lain dengan sikapnya yang dingin dan nampaknya kehadiran dirinya juga tidak begitu dibutuhkan di sini. Dia harus pulang.

“Aku pamit dulu, selamat malam.” Satu langkah telah dia ambil, “Ah ya, sebenarnya itu milik sepupuku yang ingin membuangnya karena tidak suka rumah yang ada di dalam benda itu.”—bohong. Sebenarnya ada rasa berat dalam dadanya ketika mengucapkan itu. Tapi dia berusaha untuk menghilangkan rasa itu sementara wajahnya memanas begitu pula dengan kepalan tangannya di dalam mantel yang menemani seorang Fabian Harley menerjang hujan salju yang semakin deras itu.


Tidak ada komentar:

Followers